Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Pakar Nahwu Menguasai Ilmu Fiqih


 KISAH PAKAR NAHWU YANG MENGUASAI FIQIH



Suatu saat, al-Farra' pernah berkunjung ke rumah
kerabatnya yang bernama Muhammad Ibn al-Hasan. Beliau termasuk seseorang yang keilmuan dibindang fiqihnya lebih
unggul dari pada ilmu nahwunya, berbeda dengan
al-Farra' yang lebih spesialis dibidang ilmu nahwu. Meski demikian keduanya sama-sama menguasai dua disiplin keilmuan tersebut.



Setiba dirumah kerabatnya itu, al-Farra' langsung disambut oleh Muhammad Ibn al-Hasan, lalu mereka berdua duduk
berdampingan disalah satu sudut ruang tamu. Tak lama mereka bertemu, mereka
berdua sudah menyelam dalam obrolan yang hangat. Obrolan mereka beragam namun
yang paling dominan, tentang permasalahan fikih dan nahwu sesuai dengan
kapasitas mereka.



Ditengah obrolan itu, tiba-tiba al-Farra' berkata, “tidak jarang ditemukan seseorang yang
sudah menyelam dan mahir dalam kajian ilmu bahasa arab, kemudian ia ingin
berpindah kepada ilmu pengetahuan yang lain, maka ia akan mendapatkan
kemudahan untuk memahami ilmu yang lain"



Muhammad Ibn al-Hasan menimpali, "wahai Abu Zakaria! (panggilan lain
al-Farra'), sungguh engkau telah mendalami ilmu bahasa arab, bolehkah aku
bertanya kepadamu tentang permasalahan fikih?"



Silahkan! Semoga Allah memberkahimu!"
jawab
al-Farra'.



Apa pendapatmu tentang seseorang yang saat melakukan salat, ada sesuatu yang ia lupakan lalu ia sujud sahwi namun, setelah melakukan sujud sahwi ternyata ada hal lain lagi yang ia lupakan kembali. Apakah masih disunnahkan sujud sahwi lagi karena lupa itu?” tanya Muhammad ibn al-Hasan.



     Sejenak al-Farra' berpikir, lalu ia berkata,"tidak!"



     "Mengapa bisa begitu, selidik Muhammad
ibn al-Hasan.



"Karena menurut kaidah ilmu nahwu اَلْمُصَغَّرُ لَا تُصَغَّرُ (sesuatu yang sudah dikecilkan tidak boleh dikecilkan lagi). Seperti lafad دِرْهَمٌ ketika ditashghir (kecilkan) menjadi دُرَيْهِمٌ dengan menambahkan ya’. Setelah menjadi دُرَيْهِمٌ maka tidak boleh ditashghir (dikecilkan) lagi dengan menambah ya’ yang lain”. Pada dasarnya sujud sahwi itu dilakukan untuk menyempurnakan salat,
sementara sesuatu yang telah sempurna, tidak bisa disempurnakan lagi," jelas
al-Farra' dengan logikanya yang sangat lugas, yang
dihubungkan dengan persepektif ilmu nahwu yang ia kuasai.



Mendengar jawaban al-Farra', Muhammad ibn
al-Hasan tercengang kagum. Ia pun berkata, "Aku tidak menyangka bahwa ada
keturunan nabi Adam yang melahirkan orang sepertimu".



Refrensi :



Ibnu khallikan, wafayat al-a'yan wa anba'
al-zaman (hal.179)



Mutiara Hikmah :



قَلَّ رَجُلٌ
أَنْعَمَ النَّظْرِ فِي الْعَرَبِيَّةِ فَأَرَادَ غَيْرَهُ إِلَّا سَهَّلَ
عَلَيْهِ



“Sedikit ditemukan seseorang yang sudah
mendalami dan mahir dalam ilmu bahasa arab, kemudian ia ingin belajar ilmu pengetahuan yang lain, kecuali ia akan mendapatkan kemudahan.



(al-Farra')

2 komentar untuk "Kisah Pakar Nahwu Menguasai Ilmu Fiqih"

  1. Balasan
    1. Terima kasih atas kunjunganya. semoga arikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

      Hapus

Anda Mendapatkan Manfaat Dari Informasi Ngaji Salafy? berkomentarlah dengan baik dan tidak menaruh link aktif.

Hormat Kami
Admin Ngaji Salafy