Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Beberapa Pernikahan Yang Dilarang

1. Nikah Rayat

    Penikahan ini terjadi pada zaman Jahiliah dimana para perempuan yang menjual dirinya pada pria hidung belang. Umumnya mereka memasang tanda di depan rumah mereka gunanya untuk menunjukan bahwa rumah itu adalah rumah  bordil. Siapapun bisa memasuki rumah itu tanpa ada penolakan dari sang perempuan. Ketika sang perempuan melahirkan, maka dipanggilah dukun nasab dan orang-orang yang pernah berhubungan intim dengannya. Dukun nasab itu akan melihat bayi yang lahir kemudian dicocok kan dengan pria yang mirip dengan sang bayi. Siapapun yang ditunjuk sebagai ayah dari anak yang lahir tidak bisa mengelak lagi. pernikahan model ini dibatalkan oleh Rasulullah SAW.

2. Nikah Rahth

    Pernikahan ini terjadi pada zaman Jahiliah dimana para pria dari satu kabilah atau kabilah yang berbeda  berkumpul untuk melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan. Perbuatan demikian bukan atas dasar paksaan, melainkan atas dasar kesepakatan dari komunitas kecil itu dengan sang perempuan. Umumnya komunitas itu tidak lebih dari 10 orang. Apabila sang perempuan melahirkan, dia berhak menasabkan anaknya dengan laki-laki dari komunitas kecil itu siapapun yang diinginkan, sedang sang laki-laki yang ditunjuk tidak bisa untuk mengelak.

3. Nikah Istibda'

     Pernikahan ini terjadi pada zaman Jahiliah. Dimana untuk mendapatkan keturunan yang berkualitas, sang suami memerintahkan kepada istrinya; "Pergilah ke fulan. Hamillah dengannya!". Setelah itu sang suami pergi dari istrinya sampai sang istri hamil. Saat sang istri sudah hamil sang suami boleh berhubungan intim dengan sang istrinya itu, maupun tidak. Umumnya laki-laki yang diminta untuk menghamili adalah seorang tokoh besar atau orang yang terkenal memiliki keunggulan.

4. Nikah al-Khidn

    Pernikahan model ini terjadi pada zaman Jahiliah. Dimana orang-orang Jahiliah berkeyakinan bahwa berhubungan intim secara sembunyi-sembunyi itu diperbolehkan.Yang haram adalah berhubungan intim secara terang-terangan.Islamkemudian mengharamkan praktek hubungan badan tidak boleh, baik secara terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi dengan ayat: "Janganlah kalian mendekati perbuatan keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi" (QS. al-'An'am: 151) Ibnu Arabi memberi gambaran bahwa pramuria pada zaman Jahiliah ada yang secara terang-terangan dan ada yang secara tersembunyi. Orang Jahiliah beranggapan bahwa yang secara terang-terangan lah yang haram sedang yang secara sembunyi-sembunyi tidak haram. Semua praktek ini dilarang oleh Allah SWT.

5. Nikah dengan niat menceraikan

    Nikah yang demikian terdapat perbedaan pendapat ulama. Menurut Hanafiah, Malikiah, Syafiiyah dan Hanabilah menyatakan nikah nya sah. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang menikah dan berniat akan menceraikan istrinya setelah satu bulan atau sebelumnya maka nikah nya tetap sah, baik sang istri maupun walinya mengetahui nya ataupun tidak. Keabsahan nikah yang model seperti ini karena tidak ada unsur yang dapat merusak terhadap nikah. Sedanh niat tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang dapat merusak terhadap nikah, Sebab mengingat seringkali apa yang diniati tidak dilakukan dan apa yang tidak diniatkan malah dilakukan. Dengan demikian, niat menceraikan tidak menjadi penyebab rusak nya nikah. Pernikahan akan rusak apabila niat itu disebutkan dalam akad, seperti dalam sighat akad disebutkan batas waktu nikah.

    Menurut Imam Hanabilah dalam sahih nya dan imam Auza'i nikah yang seperti demikian hukumnya batal, sebab secara prakteknya sama dengan nikah mut'ah. Imam Bihram dari golongan Malikiah cenderung memilih jalur tengah. Apabila niat demikian diketahui oleh pihak istri, maka hukumnya tidak sah. Dan sebaliknya.

6. Nikah Syighar

    Nikah syighar memiliki hukum yang berbeda menurut mazhab empat. Detailnya akan dibahas sebagai berikut:

  •  Hanafiah 
           Nikah Syighar adalah pernikahan seorang laki-laki dengan laki-laki lain dengan syarat budlu' (alat kelamin) perwalian masing-maasing (anak, saudari perempuan atau budaknya) menjadi mahar nya. Mudah nya nikah syighar adalah barter perwalian, semisal, pihak A menikahi anak gadis pihak B dan sebaliknya pihak B menikahi anak gadis pihak A tanpa adanya penyebutan mahar. Maka barter itulah yang menjadi maharnya. 

            Menurut Hanafiah nikah syighar dianggap sah, sebab meskipun syarat barter budlu' (alat kelamin) termasuk syarat fasid (merusak), walaupun begitu nikah tidak bisa dibatalkan dengan syarat fasid. konsekuensi dari kefasidan mahar ini hanya berdampak pada tidak berlakunya syarat, sehingga mahar yang diberlakukan adalah mahar mitsil. Hal ini sama halnya seperti seseorang menikah menggunakan mahar khamr atau babi, dimana meskipun mahar demikian fasid, namun tidak berpengaruh atas batalnya nikah. Kefasidan mahar dirubah menjadi mahar mitsil

            Menurut Hanafiah nikah syighar benar-benar harus mengharuskan budlu' (alat kelamin) atau yang semakna, sebagai mahar dan diterima (Qabul) oleh pihak lain. Artinya harus secara sharih (jelas) ada penyebutan lafadz budlu' atau yang semakna dalam shighat dan ada kabul dari pihak lain. Sehingga apabila seseorang berkata: "aku nikahkan putriku denganmu dengan timbal balik putrimu dinikahkan denganku", maka nikahnya tetap sah. Atau seseorang berkata: "aku nikahkan putriku denganmu dengan mahar budlu' (alat kelamin)putriku sebagai mahar atas purimu", lalu pihak lain tidak menerimanya, akan tetapi dia menikahkan anak perempuannya tanpa menjadikannya sebagai mahar, maka nikah yang demikian juga dianggap sah.

  • Malikiah
            Menurut Malikiah lafal nikah syighar yang syarih (jelas) adalah seperti: "Nikahkan lah padaku anak perempuanmu, dengan timbal balik aku nikahkan untukmu anak perempuanku". Adapun maharnya yaitu timbal balik pernikahan dari perwalian masing-masing. Nikah syighar adalah nikah fasid yang menurut Malikiah konsekuensi kefasidan nikah berdampak kepada rusak nya nikah. Baik belum terjadi persetubuhan atau sesudahnya. Hanya saja apabila sampai terjadi persetubuhan, selain harus diceraikan, pihak laki-laki juga harus membayar mahar mitsil. 

            Apabila yang menyebutkan mahar hanya satu pihak maka nikah masing-masing perwalian juga fasid. Pernikahan pihak yang tidak menyebutkan mahar menjadi rusak, baik sebelum terjadi persetubuhan ataupun sesudahnya. Hanya saja jika sampai terjadi persetubuhan, pihak laki-laki tersebut harus membayar mahar mitsil. Sedang pernikahan pihak lain yang menyebutkan mahar dianggap rusak apabila belum terjadi persetubuhan, maka pernikahan tersebut tetap dilanjutkan dan harus membayar mahar paling mahal diantara mahar mitsil atau mahar musamma (mahar yang disebutkan waktu akad). Nikah dengan model seperti ini disebut dengan "Markab al-Shighar"

            Apabila  masing-masing menyebutkan mahar, maka nikah masing-masing juga fasid yang konsekuensinya apabila belum terjadi persetubuhan maka nikahnya rusak atau harus diceraikan. Dan apabila sudah terjadi persetubuhan, maka nikahnya tetap dilanjutkan (tidak rusak) akan tetapi wajib membayar mahar yang paling mahal diantara mahar mitsil dan mahar musamma.  Pernikahan yang seperti ini disebut dengan "Wajba al-Shighar".

  • Syafiiyah 
               Nikah syighar adalah adanya kesepakatan antara dua pihak. Sedang maharnya adalah pertukaran perwalian (budlu') masing-masing. nikah yang seperti demikian dianggap batal berdasarkan hadis nabi "Rasulullah melarang pernikahan syighar: (HR. Bukhari 6960). Alasan lain penyebab batalnya nikah syighar adalah sebab maharnya berupa budlu' (alat kelamin) dimana posisi budlu' dalam pernikahan adalah sebagai objek dalam pernikahan. Sedang dalam nikah budlu' berposisi ganda. Menurut sebagian ulama, alasan batal nya nikah syighar adalah adanya ta'liq (pergantungan atau syarat).

                Apabila dalam akad nikah tidak menjadikan budlu' sebagai mahar, maka menurut pendapat ashab nikahnya sah dan harus membayar mahar mitsil, sebab tidak ada unsur ganda dalam budlu'. Selasain itu syarat dalam shighat ini hanyalah syarat akad dan tidak berdampak atas kefasidan nikah. Sedang menurut Muqabil ashab nikah yang seperti ini tidak sah sebab mengandung unsur ta'liq (pergantungan atau syarat).

  • Hanabilah
             Nikah Syighar menurut Hanabilah adalah seseorang menikahkan perwaliannya kepada orang lain dengan syarat orang lain tersebut juga menikahkan perwalian nya. Nikah yang seperti ini dianggap fasid sebab berdasarkan hadis nabi yang melarang hal demikian. Bagi Hanabilah nikah syighar baik diucapkan secara syarih pada lafadz budlu' maupun tidak, hukumnya tetap tidak sah. Hal ini disebabkan faktor tidak sahnya nikah syighar bukan terletak pada penyebutan atau shighat namun terletak pada penggantungan dengan syarat yang fasid.
7. Nikah Mut'ah
    nikah Mut'ah atau yang biasa kita sebut dengan nikah kontrak adalah seperti contoh ucapannya seorang laki-laki kepada perempuan "Aku berikan engkau uang sekian dengan imbalan aku bisa kawin denganmu selama sebulan" jika sudah dapat sebulan maka pernikahan tersebut akan berakhir tanpa adanya lafadz talak atau percerarain dari pihak suami. 
    Nikah Mut'ah termasuk pernikahannya orang jahiliah. Pada mulanya pernikahan seperti ini diperbolehkan oleh islam lalu diharamkan dengan hadis: "Sesungguhnya Rasulullah melarang nikah Mut'ah dan daging keledai jinak pada masa perang khaibar(7 Hijriah)". Lalu Rasulullah memperbolehkan nikah Mut'ah pada waktu pembebasan kota Makkah, yang kemudian dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Rabi' bin Sabrah dimana waktu itu ayahnya ikut serta dalam pembebasan kota Makkah (8 Hijriah). Saat itu Rasulullah Saw mengizinkan nikah Mut'ah pada saat haji wada' (10 Hijriah) Kemudian setelah itu nikah Mut'ah diharamkan salamanya. Berdasarkan latar belakang dari nikah Mut'ah, imam Syafii berpendapat bahwa: "Aku tidak mengetahui sesuatu yang dihalalkan kemudian diharamkan, lalu dihalakan dan diharamkan lagi kecuali hanya nikah mut'ah".
    Adapun hukum nikah mut'ah sendiri adalah yaitu Haram menurut mayoritas ulama Hanafiah, dan Hanabilah. Hal ini berdasarkan hadis: "Wahai manusia sekali. Sesungguhnya aku pernah mengzinkan nikah mut'ah dengan perempuan atas kalian. Dan sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan hal tersebut hingga kiamat. Barangsiapa disisinya masih terdapat kontrak dengan perempuan, maka lepaskanlah (batalkanlah) kontrak itu. janganlah kalian mengambil kembali apa yang telah kalian berikan kepada para perempuan itu" (HR. Muslim 1406)
    Ibnu abbas sendiri telah menjelaskan bahwa nikah mut'ah memang pernah diperbolehkan ketika permulaan islam, dimana ketika seseorang bertempat tinggal di tempat yang tidak memiliki kenalan, umumnya seseorang tersebut nikah mut'ah selama bermukim guna untuk menjaga harta bendanya dan membantu urusannya. Ketika turun ayat "Kecuali atas istrinya atau budak yang dimiliki" (QS. al-Mu'minun: 6) Maka dari sini alat kelamin hanya bisa halal ketika melalui jalur nikah atau budak.
  • Akibat dari pernikahan mut'ah
  1.  Dalam nikah Mut'ah tidak berlaku talak, sumpah ila', dzihar,waris,li'an, status muhshan bagi laki-laki atau perempuan dan halalnya istri atas suami yang telah mentalak bain, mengingat pasangan nikah Mut'ah harus diceraikan.
  2. Laki-laki dalam nikah Mut'ah tidak wajib membayar mahar atau materi yang disebutkan dalam akad Mut'ah dan nafkah selama belum terjadi persetubuhan. jika sudah terjadi persetubuhan, maka pihak laki-laki harus membayar mahar mitsil menurut madzhab syafii, menurut madzhab Hanafi pihak laki-laki harus membayar yang paling murah atau yang paling minim diantara mahar mitsil dan mahar mutsamma. Jika dalam akad nikah Mut'ah tidak menyebutkan mahar, maka cukup dengan membayar mahar mitsil. Menurut Malikiah dan Hanabilah sang laki-laki harus membayar mahar Mutsamma.
  3. Ulama sepakat bahwa jika perempuan yang diniakahi mut'ah ketika dia melahirkan anak, maka anak nya itu dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya mut'ah. Baik sang laki-laki meyakini bahwa nikah nya sah ataupun tidak. Sebab dalam akad nikah mut'ah memiliki sisi syubhat (terdapat ulama yang memperbolehkan) dimana dengan adanya akad, perempuan menjadi firasy (istri)
  4. Nikah mut'ah berkonsekuensi berlakunya mushabarah dimana anak pihak perempuan menjadi haram dinikahi laki-laki yang menikahinya. Sebaliknya anak dan orang tua dari pihak laki-laki harus menikahi perempuan yang pernah dinikah mut'ah.
 8. Nikah Muhalil
     Nikah Muhalil adalah nikahnya seorang laki-laki dengan perempuan yang telah ditalak bain oleh mantan suaminya. Perempuan yang seperti itu boleh dinikahi kembali oleh mantan suami yang telah mentalak bain dengan beberapa syarat, yaitu:
  1. Sang perempuan telah selesai masa iddah nya dengan suami yang pertama
  2. Dinikahi oleh laki-laki lain (suami kedua) dengan pernikahan yang sah
  3. Suami yang kedua telah berhubungan intim dengan sang istri
  4. Suami yang kedua telah mentalak sang istri
  5. sang istri telah selesai masa iddahnya dengan suami yang kedua
9. Nikah dalam kondisi ihram
    Ulama berbeda pendapat dalam pernikahan ini. Menurut malikiah, Syafiiah dan Hanabilah nikahnya orang yang sedang ihram tidak sah, baik yang ihram adalah pihak laki-laki ataupun perempuan meskipun yang ihram itu wali nya atau wakilnya.Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Orang yang sedang ihram dilarang menikah, dinikahkan, dan melamar" (HR.Muslim 1409)    Nikah dalam kondisi ihram menurut imam Syafii dan Hanabilah adalah batal. Tapi menurut Malikiah adalah fasid yang berdampak harus diceraikan dengan status talak satu baik sebelum atau sesudah adanya persetubuhan. Menurut Ibnu abbas dan Hanafiah, nikah dalam kondisi ihram tetap sah karena berdasarkan fakta bahwa Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan ihram. Hanya saja menghukumi makruh tahrim hal ini (versi lain makruh tanzih), karena orang yang ihramsedang fokus melaksanakan kegiatan ibadah. Sedang pernikahan dapat menggangu konsentrasi beribadah.
10.Nikah Sirr
    Nikah sirr (pernikahan siri) memiliki beberapa versi dari ulama. Menurut Hanafiah, syafiiyah, dan Hanabilah nikah sirr adalah nikah tanpa dihadiri oleh dua saksi. Apabila dihadiri oleh dua saksi maka bukan termasuk nikah sirr (dirahasiakan) melainkan nikah 'alamiah (diketahui publik). Sedangkan menurut malikiah nikah sirr memiliki dua versi. Pertama versi al-Baji; yakni nikah dimana suami istri dan wali sepakat merahasiakan pernikahan. Baik mereka juga meminta para saksi merahasiakan nya atau tidak. Kedua versi Ibnu Arafah yakni pernikahan dimana pihak suami meminta para saksi untuk merahasiakan pernikahan. 

    Jika merujuk definisi nikah sirr  tanpa ada saksi, konsekuensinya adalah tidak sah. Sedang jika merujuk definisi dari malikiah, maka versi malikiah sendiri masih perlu dipilah. Apabila belum terjadi persetubuhan atau telah terjadi namun dalam tempo singkat, maka pernikahan tersebut harus diceraikan. Sedang apabila telah terjadi persetubuhan dan berlangsung dalam tempo lama, maka menurut pendapat masyhur tidak diceraikan. Adapun standarisasi tempo lama didasarkan atas 'urf (penilaian umum). konsekuensi diceraikan ini artinya berlaku talak satu. Di samping itu pelaku nikah dan para saksi juga harus dihukum ('iqab) apabila memang tidak dipaksa, telah terjadi persetubuhan dan mengetahui hukumnya.Sedang menurut Hanafiah, Syafiiyah dan Hanabilah nikah demikian tetap sah. Hanya saja menurut Hanabilah hukum nya makruh. 

Posting Komentar untuk "Beberapa Pernikahan Yang Dilarang "