Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Menikahi Ahli Kitab Menurut al-Quran dan Ulama Mazhab


NGAJISALAFY.com - Pada dasarnya laki-laki yang menikahi perempuan non muslim terdapat klasifikasi hukum. Apabila perempuan tersebut bukan dari ahli kitab maka dilarang dinikahi. Hal ini sebagaiman ayat:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman". (QS. al-Baqarah: 221)

Sedang apabila perempuan tersebut adalah ahli kitab, hukum menikahinya adalah sah. Hal ini berdasarkan ayat:
  وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ
"(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu."  (QS. al-Maidah: 5)

Kebolehan menikahi perempuan ahli kitab merupakan kesepakatan empat mazhab. Yang dimaksud ahli kitab disini adalah perempuan beragama nasrani atau yahudi. Menikahi ahli kitab ini pernah dilakukan oleh sahabat Ustman dimana beliau menikah dengan perempuan Nasrani dan Hudzaifah yang menikahi perempuan Yahudi. Hikmah dibalik pernikahan ini adalah adanya harapan dapat membawa perempuan masuk ke agama Islam. Mengingat pada beberapa hal Islam dan Yahudi serta Nasrani memiliki kemiripan. Hanya saja persyaratan ketat terdapat pada madzhab Syafi'i dimana ahli kitab dipetakan menjadi dua jenis, yaitu ras Bani Israil dan bukan ras Bani Israil.

Keturunan Bani Israil           

 Adapaun yang dimaksud denga ras Bani Israil adalah keturunan dari Nabi Ya'qub As. Syaratnya adalah nenek moyangnya tidak diketahui memasuki agama Yahudi atau Nasrani setelah diutusnya rasul yang me nasakh hukum nabi sebelumnya. Artinya nenek moyangnya telah beragama Nasrani sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW atau beragama Yahudi sebelum diutusnya nabi Isa As, baik sebelum maupun setelah adanya distorsi (tahrij) karena nasab nya mulia. Berbeda jika memasuki agama Nasrani setelah diutusnya nabi Muhammad Saw atau beragama Yahudi setelah diustusnya nabi Isa As. Ahli kitab demikian haram dinikahi karena unsur kemuliaan nasabnya telah tiada.

Bukan Keturunan Bani Israil

Apabila  perempuan ahli kitab bukan dari ras Yahudi, maka syaratnya adalah nenek moyangnya telah beragama Yahdi atau Nasrani sebelum di nasakh, sebagaimana keterangan di atas, dan sebelum adanya distorsi (tahrij) menurut pendapat ashah. Sebab jika demikian, nenek moyangnya telah memeluk agama yang benar. Sedang menurut pendapat Muqabil ashah tidak disyaratkan memasuki agama tersebut sebelum distorsi, mengingat para sahabat menikahi perempuan ahli kitab tanpa mempertimbangkan hal demikian.

Melihat syarat menikahi perempuan ahli kitab yang begitu ketat, maka cukup sulit merealisasikan pernikahan ini dengan sah di masa sekarang. Karena sebelum menikah diharuskan adanya saksi yang menguatkan bahwa perempuan tersebut telah memenuhi syarat. Meski demikian, Ibnu Hajar al-Asqalani menyuarakan pendapat yang cukup berbeda dengan mazhabnya. Beliau mengutip dari Imam al-Bulqini bahwa setiap orang yang beragama ahli kitab mestinya berlaku hukum halal dinikahi dan halal sembelihannya. Mengingat Heraklius dan rakyatnya adalah segolongan yang beragama Nasrani setelah adanya distorsi namun bukan dari ras Yahudi. Akan tetapi Rasulullah Saw mengkhitabi (menggolongkan) mereka sebagai ahli kitab. Hal ini menunjukan bahwa mereka termasuk dari ahli kitab.

Alasan Diperbolehkan Menikahi Ahli Kitab 

Adanya larangan menikahi perempuan non ahli kitab karena rumah tangga dengan perbedaan agama yang mencolok akan kehilangan makna sakinah dan mawaddah yang mana keduanya itu adalah tujuan dari sebuah pernikahan. Akan tetapi menikahi perempuan ahli kitab itu diperbolehkan karena adanya harapan kuat sang perempuan akan masuk agama Islam. Hal itu dikarenakan secara prinsip mereka memiliki banyak kemiripan ajaran, contohnya seperti percaya kepada para nabi dan lainnya. Penyimpangan itu muncul dikarenakan perempuan non ahli kitab di didik dengan didikan yang salah sehingga mereka jauh dari kebenaran. Oleh karena itu jika mereka diberitahu kebenaran, besar kemungkinan mereka akan mengikutinya. Peran suami dalam menikahi perempuan ahli kitab adalah mendidik dan memberitahu kebenaran Islam. Dominasi laki-laki adalah sebagai kepala rumah tangga diharapkan biasa membedah kekafiran ahli kitab dan membawanya masuk agama islam. Hal ini karena perempuan ahli kitab beragama Nasrani atau Yahudi, bukan berdasarkan logika, melainkan karena mewarisi agama dan di didik oleh orang tuanya.

Sedangkan hikmah perempuan muslim dilarang menikahi non muslim, karena secara umum perempuan akan cenderung lebih memihak kepada sang suami dari pada orang tuanya. Oleh karena itu, perempuan muslim dilarang menikah dengan non muslim sebab besar kemungkinan akan mengikuti agama suaminya. Sedang laki-laki muslim diperbolehkan menikahi perempuan ahli kitab sebab adad harapan ahli kitab tersebut akan memihak kepada suaminya dan menjadi muslimah.

Hukum Menikahi Perempuan Ahli Kitab 

Menikahi perempuan ahli kitab secara prinsip diperbolehkan, hanya saja hukumnya makruh. Baik ahli kitab tersebut statusnya harbi (hidup di wilayah yang menyatakan perang dengan Islam) atau dzimmi (hidup di wilayah pemerintah Islam). Alasan nya karena dikhawatirkan laki-laki tersebut atau anaknya kelak akan lebih cenderung mengikuti perempuan ahli kitab. Hanya saja kemakruhan menikahi perempuan harbi lebih kuat dari pada perempuan dzimmi. Kemakruhan ini berlaku jika sang laki-laki tidak dikhawatirkan melakukan zina atau tidak mendapat perempuan muslim, maka tidak makruh lagi. Bahkan jika seseorang dapat mengislamkan ahli kitab setelah dinikahi justru hukumnya sunnah, sebagaimana Ustman bin Affan yang menikahi perempuan Nasrani lalu pada akhirnya dia masuk Islam dan menjadi muslimah yang religius.

Posting Komentar untuk "Hukum Menikahi Ahli Kitab Menurut al-Quran dan Ulama Mazhab"