Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah

NGAJISALAFY.com - Bangsa Arab mempunyai karakter bahasa yang kuat. Mereka tumbuh secara alami digurun sabana yang terbentang luas dengan mewarisi lahjah yang senantiasa terjaga. Sebab mereka hidup terpencil, bertahan dengan fanatisme kabilah yang berurat. Bahas mereka fasih, terucap secara sepontan dari lidah mereka, laksana madu yang mengalir dari lebah atau sebagaimana semerbak aroma bunga mawar. Sungguh, ini merupakan keajaiban alam tersendiri, sebab tanpa sadar, mereka disinggahi bahasa surga, bahasa Adam dan Hawa yang senantiasa mereka jaga.

Namun, ketika mereka memasuki babak baru Arabisme yang berkelindan dengan penyebaran Islam, muncul banyak kesalahan dalam membaca al-Qur'an sebagai akibat dari percampuran budaya, sehingga mengancam keorisinilan bahasa wahyu ini. Hal mana, jika dibiarkan begitu saja, akan sangat berbahaya. Sebab al-Qur'an dan al-Hadits yang menjadi simbol kemuliaan umat Islam, mata air yang tak pernah kering, bisa menjadi bahasa mati dan bernasib sebagaimana Torah dan Bibelnya Bani Israil. Tentu, bahaya yang lebih besar lagi, umat ini akan terputus dari akar sejarah kitab induknya.

Baca Juga: Kupas Tuntas Sejarah Munculnya Ilmu Nahwu

Dari itu, pakar bahasa ini, di waktu yang amat dini segera bertindak mengupayakan penetapan ilmu Tata bahasa untuk menjaga keorisinilan al-Qur'an. sebagai pelopornya adalah Sayyidina Ali ra. Yang menginstruksikan pada Abu-Aswad untuk segera memulai merintis kaidah-kaidah gramatika, agar bisa dibedakan antara bahasa yang benar dan yang salah.

Mula-mula, dirumuskan kaidah untuk meluruskan dan membenahi kesalahan-kesalahan yang ada saja, terutama mengenai i'rob-kalimah yang kemudian hari berkembang menjadi nahwu. Sedangkan shorof yang secara lebih teliti berbicara mengenai kosakata, belum lagi dianggap mendesak, karna masih jarangnya terjadi 'salah ucap'dalam mufrodat. Sebagaimana dilansir dari komentar Ibn Atsir (637 H) :

"Kesalah tashrif lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan kesalahan nahwu, karna sedikit sekali kosakata yang ketika di fungsikan memerlukan pergantian lantaran berat hurufnya, juga lantaran kesalahan dalam kosakata tidak bisa mengalihkan maksud yang di tuju penutur, berbeda dengan kesalahan di akhir kalimat dalam nahwu".

Perlahan-lahan, lahn merambah logat kosa kata. Demikian ini yang mendorong ulama' untuk intens membahas bidang ini juga sebagai pendamping diskursu nahwu.

Beberapa riwayat menyebutkan beberapa kesalahan itu, antara lain :

Ada seorang Nabeta membeli kedelai, ia ditanya : "kenapa kamu membeli kedelai betina?"

Ia menjawab : ("untuk aku kendarai, juga agar ia beranak-pinak untukku.")

Dialek yang benar adalah    (dengan mengkasroh lamnya).

Diceritakan juga, suatu saat Al-Kisa'i mendatanggi halaqah para alim. Karna telah berjalan jauh ia kelelahan. Lalu spontan berkata :      (aku lemah).

Para alim menghardiknya dengan keras : "kau duduk bersama kami, sedangkan kau berbuat lahn."

Al-Kisa'i kaget : "bagaimana aku berbuat lahn?"

Mereka menjawab : "jika yang engkau maksud 'engkau telah' ucapkan       . Tapi jika yang kau kehendaki 'engkau lemah, tak berdaya kemampuan' baru kau ucapkan      ."

Kaidah yang dirumuskan untuk pembenahan-pembenahan ini mula-mula di sebut ilmu Arabiyah uang mencangkup nahwu, shorof, lughot juga balaghoh. Sampai, ketika tampilanya Al-Kholil (w. 170 H) yang mengenalkan istilah nahwu. [shorof saat itu termuat dalam nahwu yang dikenalkan oleh Al-Kholil]. Langkah ini, menandai pemisahan Gramatika dan Morfologi dengan cabang ilmu lughot yang lain.

Dalam shorof, Al-Kholil telah memulai mengklasifikasi bab-babnya, membagi kelas kata dalam beberapa shighot, berbicara tentang i'lal, huruf ziyadah sebagimana yang kemudian di rekam oleh Sibawaih dalam karya monumentalnya Al-Kitab.

Oleh karna itu, para ulama menyebut : shorof sebagai saudara kandung nahwu yang tumbuh dalam satu pangkal. Sama-sama dirintis untuk menjagaa keorisinilan bahasa Arab yang mulai rusak.

Kemudian kendali diambil alih oleh pakar-pakar Kufah yang bersaing untuk memajukan shorof di saat bashrah sedang intens mengkaji masalah-masalah nahwu. Maka, meskipun teori dalam kaidah shorof telah dirintis bashrah, tapi yang mengembangkan soal-jawab, tamsil-tamsilnya, metodologinya serta mengembangkan permasalahn-permasalahannya adalah pakar-pakar Kufah. Utamanya, Al-Harra' yang oleh Ibn Malik dan As-Suyuthi di angap sebagai peledak shorof. Disusul dengan Al-Farro' dan Al-Kisa'i yang menyumbangkan buah karyanya, juga Al-Ahmar (Kufah) yang menurut satu riwayat dianggap sebagai pencetus istilah tasrif sebagaimana juga Al-Yazidi (Bashrah).

Memasuki abad ke-3 H, Al-Mazini memulai memisahkan shorof dari nahwu dalam karyanya 'At-Tashrif.' Namun, At-Tasrif belum menyumbangkan hal baru dalam shorof, sebatas kompilasi dari bahasan-bahasan yang telah terekam dalam Al-Kitab. shorof menjadi semakin maju tatkala tampil Al-Farisi dan muridnya ; Ibn Jinni yang punya andil besar memajukan diskursus shorof.

Para pakar shorof setelah kedua guru-murid ini, tidak lagi menyumbangkan sesuatu yang bernilai besar, mereka sebatas melakukan kompilasi terhadap apa yang telah dirintis, memperluas keterangan atau terkadang meringkas dan menghimpun untuk melakukan perombakan dengan format baru seputar sub bab, kaidah-kaidah, contoh dan masa'il-nya

Posting Komentar untuk "Sejarah"