Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum 'Azl Menurut Imam Abu Hanifah

Tanggapan Imam Abu Hanifah Terkait 'Azl

NGAJISALAFY.com - Imam Abu Hanifah memandang hukum melakukan ‘azl adalah sesuatu yang boleh atas dasar persetujuan istri, namun bila tanpa izin, maka hukumnya menjadi makruf.  Berbeda kemudian saat sang suami sedang melakukan perjalanan untuk perperangan, atau bepergian dengan jarak yang sangat jauh dan waktu yang sangat lama maka hukum ‘azl adalah boleh, tanpa disyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari sang istri. Hal ini dikarekan adanya kekhawatiran saat istri melahirkan, namun suami tidak dapat menjaga dan merawat anak dan istrinya.  Demikianlah pandangan Imam Abu Hanifah terkait kedudukan ‘azl.

Dalam perkembangannya, para pengikut Imam Abu Hanifah seperti Ibn Nujaim memperkuat pandangan sang imam mengenai kebolehan melakukan 'azl (pengendalian kelahiran) dengan persetujuan istri. Bahkan Ibn Nujaim berpendapat bahwa praktik yang terjadi pada zaman Nabi, di mana wanita menutupi rahimnya dengan izin suami, juga diperbolehkan berdasarkan pertimbangan kepentingan umum. Oleh karena itu, praktik ini menjadi acuan mengenai hukum penggunaan alat yang dapat menutupi rahim untuk mencegah kehamilan, yang dikenal sebagai spiral dalam konteks zaman sekarang.

تغيير الأحكام بتغيير الأزمنة
Berubahnya hukum dipengaruhi adanya perubahan zaman. Pembeharuan hukum Islam dianggap sebagai bentuk kesempurnaan agama itu sendiri sehingga pemeluknya tidak merasa kaku dalam beragama bahwa timbangan antara maslahat dan mafsadat mampu memunculkan pertimbangan hukum sebagai penengah dari permasalahan yang sedang dihadapi oleh setiap individu muslim. Adapun dalil yang digunakan dalam memandang masalah ini adalah keumuman dari firman Allah swt.  dalam surah al-Nisa ayat 19: “...Dan pergauilah mereka (istri-istri) dengan cara yang ma‟ruf...”. Selanjutnya dalam surah al- Baqarah ayat 226 Allah swt. berfirman: “...Dan atas setiap wanita itu ada hak yang seimbang dengan cara yang ma‟ruf, tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas hak istri-istri mereka. Allah maha perkasa lagi bijaksana”.

Landasan hukum yang memperbolehkan praktik 'azl di kalangan mazhab Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya didasarkan pada dua ayat dengan mempertimbangkan kepentingan dan keadaan yang mendesak. Demikian juga dalil yang digunakan adalah keseluruhan hadis mengenai ‘azl seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi hukumnya boleh atas dasar izin dari istri. Namun apabila dalam kondisi tertentu seperti safar perperangan, atau safar dalam jarak yang sangat lama, atau karena alasan kedaruratan, maka hukumnya boleh tanpa harus mendapatkan izin dari istri. Imam Abu Hanifah yang dikenal sebagai imamnya ahli ra’yu, tentu menggunakan analisis qiyas dalam kebanyakan penetapan suatu hukum. Dalam hal, ‘azl juga tidak luput dari alasan yang selalu diterima oleh akal manusia. 

Menurut Ibn Nujaim, prinsip dasar segala sesuatu adalah diperbolehkan (mubah). Namun, ketika terdapat kebaikan atau kerugian yang terkait, pandangan terhadap suatu peraturan dapat berubah dari semula diperbolehkan menjadi wajib atau haram. Oleh karena itu, hukum 'azl (metode pengendalian kelahiran) dapat ditentukan berdasarkan tujuannya, yaitu untuk memberikan manfaat dan menghindari kerugian. Dengan demikian, hukumnya diperbolehkan sesuai dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya.

Posting Komentar untuk "Hukum 'Azl Menurut Imam Abu Hanifah"