Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

6 Faktor Utama Perbedaan Pendapat 4 Madzhab Dan Ulama Fuqaha'

NGAJISALAFY.com - Adapun
sumber yang menyebabkan perbedaan diantara Fuqaha’ (ulama ahli fiqih) adalah
karena perbedaan tingkat kemampuan berfikir, tingkat penguasaan dan pemahaman
terhadap suatu dalil atau nash al-Qur’an maupun al-Hadist. Dan ada juga karena
perbedaan metodologi yang digunakan untuk melakukan ijtihad. Oleh karena itu
Az-Zuhaili menyebutkan bahwa ada 6 sebab utama yang menimbulkan perbedaan
diantara ulama fuqaha’ sebagai berikut :

Sebab-Sebab Perbedaan Ulama



6 Faktor Utama Penyebab Perbedaan Pendapat 4 Madzhab Dan Ulama Fuqaha' 

Pertama, Perbedaan Arti Dari Beberapa Lafadz Arab (إِخْتِلاَفُ مَعَانِي الْأَلْفَاظِ
الْعَرَبِيَّةِ
)



Banyak
kata-kata (lafadz) dalam bahasa arab yang memiliki arti ganda (dua), seperti
kata al-quru' yang memiliki arti suci dan haid. Namun diantara para
sabahat terjadi perbedaan pendapat dalam memberikan arti lafadz al-quru’ pada surat al-Baqarah ayat 228, yang
berkaitan dengan masalah ‘iddahnya wanita yang dicerai suami-Nya.



وَالْمُطَلَقَّاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءِ



Artinya : wanita-wanita
yang ditalaq atau dicerai hendaklah menuggu atau menahan diri selama tiga kali quru’.
(Q.S al-Baqarah : 228)



Zait bin
Tsabit, ‘Aisyah, Ummul Mukminin dan Ibnu Umar mereka semua memberi arti lafadz al-quru’
dengan arti “suci” (‘iddahnya wanita wanita tersebut ialah tiga kali sucian
dari haid). Sedangkan menurut Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memberikan makna lafadz al-quru’ dengan arti “haid”.



Pebedaan ini
terus berlangsung sampai kepada imam-imam Mazhab, seperti imam Syafi’i, imam
Malik dan imam Ahmad bin Hambal mereka semua mengikuti pendapat golongan pertama (al-quru’
diartikan suci), sementara imam Abu Hanifah mengikuti pendapat golongan kedua
(al-quru’ diartikan haid).



Kedua,
Perbedaan Riwayat (
إِخْتِلاَفُ الرِّوَايَةِ)



Ada sebuah
hadits yang sampai kepada seseorang diantara para ulama akan tetapi hadits
tersebut tidak diketahui atau tidak sampai kepada ulama-ulama yang lain. Atau
sampainya hadis tersebut melalui jalur sanad yang lemah (dlo’if), sehingga
mereka tidak mau menggunakanya sebagai dalil hokum. Sedang yang lain
menerimanya melalui jalur sanad yang kuat (shahih) sehingga mereka mau
menggunakanya sebagai dalil hokum.



Ketiga, Perbedan Sumber Dalil (إِخْتِلاَفُ الْمَصَادِرِ)



Dalam
berijtihad, terdapat sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh para ulama Mujtahidin seperti al-Qur’an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas. Namun
disamping sumber-sumber dalil tersebut, ada beberapa sumber yang masih
diperselisihkan (al-mukhtalaf fih) seperti Maslahah Mursalah, Istihsan,
Syar’u Man Qablana, al-Urf,
dan lain lain sebagainya. Dalam menyikapi
sumber-sumber dalil tersebut antara pihak yang menerima dan menolak atau yang
menerima tapi bersyarat, akan menyebabkan kemungkinan terjadinya perbedaan hasil
ijtihadnya.



Keempat,
Perbedaan Kaidah-Kaidah Usul Fiqih (
إِخْتِلاَفُ الْقَوَاعِدِ الْأُصُوْلِيَّةِ)



Seperti ada
pendapat yang mengatakan : “Bahwa kalimat atau kata umum yang memiliki arti
khusus, itu tidak bisa dijadikan hujjah (dalil)”. Atau pendapat mazhab Dzhohiri
yang mengatakan :“al-mafhum al-muwafaqah” tidak bisa digunakan sebagai dalil
Istinbath. Akan tetapi menurut madzhab-madzhab yang lain dapat menerimanya sebagai
dalil hokum.



Kelima,
Ijtihad Dengan Dasar Qiya
s (اَلْإِجْتِهَادُ
بِالْقِيَاسِ
)



Dalam
masalah ini ternyata telah banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas,
mengigat Qiyas memiliki prinsip-prinsip, syarat-syarat dan alasan-alasa (‘illa
t) yang
banyak. Dan masing-masing dari ‘illat memiliki persyaratan tersendiri dan cara penggunaan yang cukup rumit. Dari sinilah yang menyebabkan terbukanya
peluang terjadinya perbedaan diantara ulama-ulama Mujtahidin. Seperti contoh Madzhab
Syafi’i mengatakan, bahwa tertib (urut-urutan) dalam melakukan
wudhu’ sebagaimana tertera dalam al-Qur'an surat al-Ma’idah ayat 6, yakni : "membasuh muka,
membasuh tangan sampai dengan siku, mengusap kepala, kemudian membasuh kaki
sampai denga mata kaki".
Itu semua hukumnya fardlu (wajib) dan apabila hal
tersebut diabaikan maka wudlu'nya tidak sah. Pendapat ini didasari dalil Qiyas
dalam melakukan tata cara ibadah lainya, seperti ibadah Sa’i yang yang telah dipaparkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi bahwa ibadah Sa'i itu dilaksanakan“dari
as-Shofa ke al-Marwa”. 
Hal ini sudah menjadi suatu keharusan dan tidak boleh dibalik dari al-Marwa ke as-Shofa karena
nabi Muhammad telah bersabdah yang berbunyi :



فَابْدَؤُا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ



Artinya : “dahulukanlah apa
yang telah didahului oleh Allah”



Keenam, Kontradiksi dan Pengunggulan Dalil (أَلتَّعَارُضُ
وَالتَّرْجِيْحِ بَيْنَ الْأَدِلَّةِ
)    



Sebenarnya, dalil dalil syara’ yang utama yakni al-Qur’an
dan al-Hadist itu tidak ada kontardiksi (bertentangan), tapi kontradiksi itu
muncul karena keterbatasan kemampuan kita dalam memahaminya, atau tingkat
penguasaan kita dalam menafsirkanya. Hal inilah yang sebenarnya menjadi sebab
timbulnya perbedaan dikalangan ulama dalam menetapkan fatwanya.



Sebagaimana Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa, orang yang sedang melakukan ihrom tidak boleh menikah atau menikahkan, hal ini atas dasar hadist Nabi Muhammad s.a.w. yang
diriwayatkan oleh usman bin Affan r.a bahwa Rasulullah s.a.w. bersabdah:



لاَيَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحُ



Artinya :“Orang yang sedang
ihrom tidak boleh menikah dan tidak boleh pula menikahkan”



Selain itu juga terdapat hadist,
yang diriwayatkan oleh Yazid bin al-A’shom dari Maimunah r.a.,“bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. menikahinya setelah halal (setelah tahallul) dan kumpul dengan
beliau dalam keadaan halal (bebas ihrom)”.
(HR. Imam ahmad da Imam At-Turmudzi)



Sedangkan Imam Abu Hanifah,
memperbolehkan nikah dalam keadaan sedang dalam melakukan ihrom, atas dasar
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., “bahwa nabi Muhammad s.a.w.
menikahi Maimunah ketika beliau ihrom”. (HR. Imam Bukhori)



Dalam contoh diatas, tanpak
adanya dua dalil yang terlihat kontradiktif (bertentangan) dan ada perbedaan
pendapat diantara ulama’ Mujtahidin dalam memilih mana dalil yang diunggulkan.

Posting Komentar untuk "6 Faktor Utama Perbedaan Pendapat 4 Madzhab Dan Ulama Fuqaha' "