Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Pengarang Alfiyah Ibnu Malik dan Kebekuan Berfikir

Siapa yang tidak kenal ulama nahwu yang satu ini, namanya
adalah Jamal al-Din Muhammad Ibn Abdullah Ibn Malik al-Andalusi, atau lebih
dikenal dengan Ibn Malik. Ia adalah seorang ulama nahwu yang paling terkenal dikalangan
para penggiat ilmu nahwu. Karyanya yang bejudul Alfiyyah menjadi karya
fenomenal yang dipelajari oleh hampir seluru pengaji ilmu nahwu. Ia juga merupakan seorang guru dari ulama fiqih terkemuka bernama Imam al-Nawawi.



Kitab karangannya yang berjudul Alfiyyah ini adalah kitab
yang secara sistematis mengemas teori-teori nahwu dalam betuk bait-bait syair
sehingga mudah untuk diingat dan dipahami. Alfiyyah merupakan sebuah master piece yang
digandrungi oleh para ulama sejak zamannya hingga saat ini. Banyak ulama
setelahnya yang  memberikan penjelasan (syarh) dan bahkan meringkasnya.



Dalam
penulisan kitab ini, tentunya tidak serta merta langsung tercipta tanpa ada
hambatan yang dihadapi oleh ibn Malik. Ia bahkan harus melewati beberapa
rintangan yang menghalanginya, diantaranya seperti apa yang terjadi pada saat
ia mengalami kebekuan berpikir pada awal penulisannya

Saat ia baru menulis beberapa bait dalam
muqaddimah Alfiyyah, ia mengalami kebekuan dalam pikirannya. Semua materi yang
sudah terencanakan tiba-tiba menghilang dan ia tidak tahu harus menulis apa
untuk melanjutkannya. Bait-bait Alfiyyah yang sebelumnya telah tersusun dan
terproyeksikan dalam pikirannya seakan-akan menghilang begitu saja tanpa sebab
apapun.

Selama beberapa hari ia mengalami
kemusykilan itu, hingga pada suatu malam, dalam tidurnya ia bermimpi bertemu
dengan sosok orang tak dikenal. Dalam mimpinya, orang tersebut bertanya kepada
ibnu Malik, “Aku dengar kabar bahwa engkau sedang menulis kitab Alfiyyah yang
membahas ilmu nahwu, benarkah itu?!”

“Ya, benar,” jawab Ibnu Malik.

“Sampai dimanakah engkau menulis
kitab itu?”

“Sampai bait kelima,” Ibnu Malik.

“Mengapa engkau tidak
melanjutkannya?”

“Semenjak hari itu aku tidak
mampu melanjutkannya lagi. Apa yang sudah aku rumuskan dalam pikiranku tiba-tiba
memghilang,”

“Apakah engkau ingin
melanjutkannya?”

“Tentu aku ingin melanjutkannya
hingga sempurna” jawabnya.

“Jika engkau memang ingin
melanjutkannya, ketahuilah wahai ibnu Malik! Seseorang yang masih hidup
terkadang mampu mengalahkan seribu orang yang sudah meninggal”

Mendengar jawaban tersebut, Ibnu
Malik langsung kaget dan merasa tersindir dengan apa yang diucapkan oleh orang
tak dikenal itu. Ia langsung teringat dan sadar dari apa yang telah ia tulis
dalam bait terakhir sebelum mengalami kemusykilan itu.

Dalam bait itu, dengan sangat
jelas ia menyatakan kebanggaannya bahwa kitab Alfiyyah yang akan ia tulis
tersebut nantinya akan lebih unggul dari pada kitab Alfiyyah yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Mu’ti (gurunya), mengingat keduanya sama-sama bernama kitab Alfiyyah.

Seketika, ibnu Malik langsung
berkata, “apakah engakau Ibnu Mu’ti?”

“Ya,” jawabnya lirih sambil
menganggukan kepala.

Ibnu Malik tersipu malu dihadapan Ibnu Mu’ti. Seketika, lidahnya kelu tak mampu berkata apa-apa.

keesokan harinya, Ibnu Malik langsung
menghapus bait yang membuat kesombongan dirinya atas Ibnu Mu’ti. Ia
menggantinya dengan bait yang berisi pujian dan ketakziman kepada ibnu Mu’ti
serta mendoakan limpahan pahala dan rahmat di akhirat.



Sumber Bacaan:



Hamdani al-Sidani, Marji’ al-Salik Fi Tarjamah Alfiyyah
Ibnu Malik. (3)



Kalam Hikmah



 مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ** وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاَ  



"Guru lebih dahulu mendapatkan
keutamaan. Ia berhak mendapatkan sanjungan yang indah dari muridnya".
 

 

Posting Komentar untuk "Kisah Pengarang Alfiyah Ibnu Malik dan Kebekuan Berfikir"