Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Abu al-Aswad al-Du’ali Sang Pencetus Ilmu Nahwu

Biografi Beliau

Nama lengkap beliau adalah Dlalim bin Amr bin Sufyan bin
Jandal bin Ya’mur bin Hils bin Nufasah bin ‘Uday bin al-Du’ali bin Bakr bin
’Abd Manaf bin Kinanah bin Huzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudlar bin
Nazar. Dari pihak ibu, Abu al-Aswad al-Du’ali masih keturunan dari Bani ‘Abd
al-Darr bin Qushai. Beliau lahir tiga tahun sebelum nabi Muhammad s.a.w
diangkat menjadi nabi dan rasul tepatnya pada tahun 16 sebelum Hijriyah/605 M.



Perjalanan Beliau



Ilmu nahwu atau tata bahasa arab termasuk salah satu ilmu
keislaman yang mendapat perhatian besar di Pesantren. Ini terbukti dari
banyaknya kitab ilmu nahwu yang dipelajari para santri, misalnya al-Jurrumiyyah,
al-Imrithi dan alfiyyah ibn Malik.
Kitab-kitab tersebut biasanya dihapalkan
para santri. Lalu, siapakah orang yang dianggap sebagai peletak dasar atau
pencetus ilmu nahwu?



Dalam kitab I’lam al-Bararah bi al-Mabadi’ al-Asyarah karya
Shalih bin Ahmad bin Salim al-‘Idrus disebutkan bahwa pencetus ilmu nahwu
adalah Abu al-Aswad al-Du’ali atas perintah ‘Ali bin Abi Thalib. Abu al-Aswad
al-Du’ali banyak mengikuti peperangan sejak masa Nabi hingga masa ‘Ali.
Diceritakan tokoh ini ikut dalam perang badar yang merupakan perang paling
herorik dalam sejarah Islam, perang Jamal dan perang Shiffin. Perang Jamal
adalah peperangan antara pasukan ‘Ali melawan pasukan Aisyah, sedangkan perang
Shiffin adalah pertempuran antara pasukan ‘Ali melawan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Abu al-Aswad al-Du’ali juga berperan sebagai mediator untuk mengakhiri
perang Jamal. Selain itu, juga disebutkan Abu al-Aswad al-Du’ali pernah
memimpin pasukan memerangi golongan Khawarij Basrah. Khawarij adalah kelompok
umat Islam yang tidak memihak ‘Ali maupun Mu’awiyah, bahkan memusuhi keduanya.



Pada masa ‘Umar bin Khattab dan
Utsman bin ‘Affan, Abu al-Aswad al-Du’ali pernah dipercaya menjadi hakim (qadli). kemudian ia pindah ke kota Basrah pada masa pemerintahan ‘Umar lalu membangun masjid dengan
namanya sendiri. Dia juga menjadi sekretaris pribadi ‘Ali bin Abi Thalib.



Guru Guru Abu
al-Aswad al-Du’ali



Adapun guru-guru dari beliau
ialah sebagai berikut:

  • ‘Ali bin Abi
    Thalib
  • ‘Umar bin
    Khattab
  • ‘Abd Allah bin ‘Abbas
  • Abu Dzarr
    al-Ghifari
  • ‘Abd Allah bin
    Mas’ud
  • Zubair
  • Ubai bin Ka’ab
  • Mu’adz
  • Abu Musa al-Asy’ari
  • Amran bin Husain


Murid Murid Beliau



Sedangkan orang-orang yang pernah
berguru kepadanya ialah sebagai berikut:

  • Harb bin Abu
    al-Aswad
  • Hamran bin A’yun
  • Sa’ad
  • Sa’id bin bin
    Abd al-Rahman bin Raqish
  • ‘Abd al-Rahman
    bin Hurmuz
  • ‘Abd Allah bin
    Buraidah
  • Atha’ bin Abu
    al-Aswad
  • Amar Maula Afrah
  • Ambasah bin Ma’dan
    al-Fil
  • Maimun al-Quran
  • Nashr bin ‘Ashim
  • Yahya bin Ya’mur



Ada Dua Pendapat
Orang Yang Menyuruh Abu Aswad Al-Du’ali Untuk Menyusun Ilmu Nahwu



Sebenarnya ada dua pendapat
mengenai siapakah yang memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk menyusun ilmu
nahwu sebagai berikut:



Pendapat Pertama, ‘Ali bin Abi
Thalib adalah orang yang menyuruh Abu al-Aswad al-Du’ali untuk menyusun ilmu nahwu.
Ide ini muncul dari suatu kesalahan bacaan yang dilakukan oleh putri Abu
al-Aswad al-Du’ali. Pada saat itu Abu al-Aswad al-Du’ali ketika sedang
berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan
wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya
bintang-bintang. Kemudian berkata,



 مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ



"Apa yang paling indah di langit?"



Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah menyatakan,



نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ



"Wahai anakku, bintang-bintangnya"



Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,



اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ



"Sesungguhnya aku ingin mengucapkan kekaguman"



Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,

مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ



Bukan



مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ                                                            



"Apakah yang paling indah di langit?"



Dengan memfathahkan hamzah.



Nah, dari peristiwa ini, Abu Aswad al-Du’ali menemui Ali
bin Abi Thalib dan menyatakan bahwa bahasa Arab telah bercampur baur dengan
bahasa lain sehingga sering terjadi kesalahan dalam membaca. Dan juga
menceritakan atas kesalahan bacaan yang dilakukan oleh putrinya sendiri. Kemudian,
Abu al-Aswad al-Du’ali meminta izin kepada ‘Ali untuk menyusun suatu ilmu
tertentu yang membahsan tentang ilmu gramatika bahasa Arab. Kemudian ‘Ali bin Abi
Thalib menjawab:



اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَ
يُخْرَجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ اِنْحَ هَذَا النَّحْوِ



Artinya: “kalam itu tidak terlepas
dari kalimat isim, fi’il dan huruf. Teruskan untuk sesamanya”



Nah, dari kata انح هذا النحو (inha ‘ala hadza al-nahwi) inilah, ilmu
nahwu dinamakan dengan istilah ilmu nahwu sesui dengan perkataan yang
disampaikan oleh ‘Ali bin Abi Thalib.



‘Ali bin Abi Thalib mengatakan kepada Abu al-Aswad
al-Du’ali bahwa kalimat (kata) ada tiga macam: (1) Dzahir (2). Mudhmar
dan (3). Bukan dzahir dan bukan mudlmar. Lalu Abu al-Aswad
al-Du’ali mengumpulkan kata-kata tersebut sesuai dengan apa yang diterangkan
‘Ali bin Abi Thalib. Di antara hasilnya ialah Abu al-Aswad al-Du’ali
mengumpulkan beberapa huruf yang berfungsi untuk menasabkan yakni
لَيْتَ، كَأَنَّ،
أَنَّ، إِنَّ، لَكِنَّ
.



Pendapat Kedua, Umar bin Khattab
adalah orang yang memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’ali untuk menyusun ilmu
nahwu. Awal mulanya adalah atas kesalahan baca yang dilakuka seorang a’rabi
(orang desa) saat membaca surat al-taubah ayat 3.



أّنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
وَرَسُوْلِهُ



Dengan menkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang
seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya "Sesungguhnya Allah berlepas
diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya"
hal ini menyebabkan arti
dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.



Seharusnya kalimat tersebut adalah



أّنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
وَرَسُوْلُهُ



"Sesungguhnya Allah dan rasulnya berlepas diri dari
orang-orang musyrikin."



Karena
mendengar perkataan ini,
Umar binn Khattab menjadi ketakutan, ia takut keindahan
bahasa arab menjadi
rusak dan gagahnya
bahasa Arab
ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah islam.

Akhirnya Umar bin Khattab memerintahkan kepada Abu al-Aswad al-Du’ali untuk
menyusun aturan dalam membaca kalimat berbahasa Arab yang kemudian dikenal
sebagai ilmu Nahwu.



Jasa Jasa Abu al-Aswad al-Du’ali



Beliau selain berjasa sebagai peletakan dasar ilmu nahwu,
ia juga berjasa dalam memberikan harakat al-Qur’an. Perlu diketahui, text asli
al-Qur’an pada masa nabi belum ada titik atau harakat. Kemudian Abu al-Aswad
al-Du’ali yang memulai memberi harakat dan kemudian disempurnakan oleh
al-Khalil bin Ahmad. Abu al-Aswad al-Du’ali memberikan titik diatas huruf untuk
menujjukkan fathah, di bawah untuk menujjukan kasrah, dan disela sela huruf
atau didepanya untuk menujjukan dhammah dan juga ditambah dua titik untuk
menujjukan tanwin. Huruf mati atau sukun itu tidak diberi titik. Ada yang
mengatakan bahwa tanda titik ini tidak diletakkan disemua huruf, melainkan
hanya pada huruf terakhir tiap kata atau huruf huruf tertentu yang memungkinkan
terjadi kesalahan baca jika tidak diberi tanda titik (harakat).



Ada yang berpendapat, kesalahan baca surat al-Taubah ayat
3 diatas ialah salah satu sebab yang menginspirasi Abu al-Aswad al-Du’ali untuk
memberikan tanda harakat pada text al-Qur’an. Peristiwa penambahan titik
sebagai harakat juga terjadi pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan
pendiri dinasti Umayyah.



Jadi ada dua jasa besar yang telah dilakukan Abu al-Aswad
al-Du’ali terhadap ummat islam yaitu:

  1. Merumuskan ilmu
    nahwu sesuai dengan petunjuk Ali bin Abi Thalib.
  2. Memberi harakat,
    meskipun masih berupa titik pada text al-Qur’an dan disempurnakan oleh
    Al-Khalil bin Ahmad.



Wafatnya Abu al-Aswad al-Du’ali



Abu al-Aswad al-Du’ali wafat karena seranga wabah tha’un
yang menyerang kota Basrah. Ada yang berpendapat dia telah wafat sebelum
kedatangan wabah ini. Dia meninggal pada tahun 69 H/688 M dalam usia 80 tahun.
Pendapat lain menyebut tahun wafatnya adalah 67 H dengan meninggalkan dua orang
putra dan dua orang putri. Kedua putranya bernama Harb dan ‘Atha’.



Semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi kita semua
terutama untuk memahami lebih dalam terkait tokoh-tokoh ilmu Nahwu dan sejarah ilmu
nahwu.



Sumber Bacaan:



Tapak Sejarah Kitab Kuning hal 1-4

Posting Komentar untuk "Abu al-Aswad al-Du’ali Sang Pencetus Ilmu Nahwu"